Menolak Lupa: Tragedi Mei 1998
Kita tengah disodori
calon presiden yang membawa catatan hitam peristiwa Mei 1998. Keji, kejam dan
brutal sekali Jakarta kala itu. Hampir 16 tahun tragedi itu lewat, seiring
waktu sebagian kita mungkin lupa, tapi sebagian yang lain, terutama para
korban, mungkin hingga kini masih harus berjuang melawan trauma. Penjarahan,
pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran yang sampai sekarang belum jelas siapa
di belakang itu semua.
Dua nama yang dianggap paling berperan: Prabowo &
Wiranto. Kini, ditengah ketidakpastian hukum atas tragedi itu, mereka berdua
justru maju menjadi Calon Presiden dengan tunggangan politik masing- masing.
Rasanya, ragu untuk
memilih mereka jika peran mereka kala itu belum diadili. Sebagus apapun mereka
bersalin rupa, sepanjang belum diungkap peran dan tanggung jawab mereka,
Prabowo dan Wiranto tetap akan jadi bagian dari peristiwa berdarah yang
membunuh empat demostran dari mahasiswa Universitas Trisakti itu. Saya bukan
bermaksud mendiskreditkan kedua tokoh ini, pun tidak pula menjadi bagian
praktik cacat demokrasi yang menyerang personal dan dosa masa lalu. I am no
one. Tanpa afiliasi pada kelompok tertentu. Saya (mungkin) hanya mencoba
menjadi corong dari suara yang tak bergema, suara mereka yang kehilangan
harapan akan keadilan.
Harian Umum Kompas
edisi 25 Agustus 1998 menjadikan pemberhentian Prabowo dari Militer sebagai
berita utama. Bagi beberapa pihak mungkin pemberhentian itu adalah jawaban atas
rasa gelisah yang disebabkan dugaan penculikan demonstran Mei 1998 oleh
Prabowo. Namun, sulit memungkiri bahwa hal tersebut tidak serta merta menghapus
sangkaan yang kadung melekat padanya. Ia tidak pernah diadili, disidangkan
ataupun divonis apapun atas itu. Termasuk pula Wiranto, yang saat Mei 1998
justru meninggalkan Jakarta menuju Malang, ditengah kekacauan dan kerusuhan
melanda Ibukota.
Saat itu, rezim yang
berkuasa memang sangat represif. Manuver politik tangan besi ala Soeharto telah
membungkam segala suara kebebasan dan kebenaran. Bila disebutkan bahwa Prabowo
dan Wiranto hanya korban politik sebagai aparat yang menjalankan perintah. Maka
tugas besar negeri ini adalah mengungkap siapa dalang besar pencetus keputusan
yang kontraproduktif dengan prinsip hak asasi manusia itu. Mereka harus diseret
ke muka hukum beserta semua pelaku dengan alasan apapun. Termasuk Prabowo dan
Wiranto. Sebab, inilah kesempatan dan jalan bagi mereka untuk menjawab segala
sangkaan yang telah hampir 16 tahun ditujukan ke mereka.
Prabowo dan Wiranto,
bagaimanapun, adalah bagian dari rezim orde baru yang memainkan peran penting
di panggung besar kala itu. Mereka sebagai pribadi atau sebagai tokoh tidak
bisa dilihat secara terpisah. Mereka membawa etika sebagai pejabat publik yang
harus mampu menjawab semua sangkaan atau tuduhan dosa masa lalu sebagai syarat
untuk dapat diterima oleh kaum yang menolak lupa. Tunggangan politik mereka
kini, memang membawa harapan, terutama Prabowo dengan program kerakyatan yang
ingin kembali me-macanasia-kan Indonesia. Namun, maju kembali ke panggung
negeri sebagai politisi tentu akan lebih etis bila terlebih dahulu mereka
didudukkan untuk diadili.
Comments
Post a Comment